Gerah. Masih saja tubuhku dilumuri keringat yang tak
diinginkan. Kau tahu? Padahal tadi siang hujan sempat menyapa. Namun tak kunjung
setia hingga kini. Menatap langit gelap dari teras rumah, sepertinya tak kelam.
Mungkin aku hanya menerka-nerka saja, namun yang pasti, kanopi rumah dan
pepohonan yang ditanam pemerintah di pinggiran jalan ini menutupi mataku yang
nekat melihat ke atas—kelangit.
Aku masih terpingkal dengan gelitikan imajinasi yang terpaut
sejak sore tadi. Securah kalimat yang kulontarkan menarik apresiasi yang
lumayan. Kubilang pada mereka kalau aku itu… aneh. Ya aneh. Atau lebih tepatnya,
aku katakan bahwa orang-orang mengatakanku demikian. Entah apa yang mereka
kerahkan saat berbicara mengenai itu. Dan kini, aku mulai terhentak dengan
perasaan yang membisik tajam, “aku aneh!”.
Aku pernah dengan sengaja berniat mengubah diriku. Menjadi apa
yang mereka—orang-orang yang mengatakanku aneh—inginkan. Lagi, aku tertegun.
Aku merasa dirikulah yang benar. Aku bahagia menjadi diriku yang
se-aneh-kombinasi-tak-biasa-juga-sederhana yang terpadu dalam satu kesimpulan;
berantakan. Aku sadar itu. Dan aku sedikit bangga. Atau bahkan totali bangga!
Beberapa hal yang menjadi pertimbanganku yang harusnya
mereka pahami—ya harusnya mereka pahami. Pertama, aku bersyukur terlahir
seperti ini, dan aku tak ingin mengubah ciptaan Sang Pemberiku kehidupan. Aku
bahagia dan nyaman menjadi ‘aku’ yang sesungguhnya, dan seterusnya aku akan
begini. Walaupun tak dapat kupungkiri, seringkali ragu ini menghantui bersama
bayang-bayang mereka si penggantung harapan pada pundak-pundakku. Kedua, kurasa
tidak semua hal aneh itu buruk. Setidaknya begitulah kata kakak, aneh itu
relatif dan kurasa anehnya diriku masih dalam tahap wajar. Ingat, ’aku bukan si
pemakan tanah ataupun pelanggan setia aspal jalanan yang suka guling-guling
seenak perutnya’. Enggak. aku masih sadar dengan kegilaan yang ekstream. Ketiga,
aneh itu berarti tak biasa, tak biasa itu berarti unik, unik itu tak banyak
didapatkan dan ditemukan. Singkat cerita, aku itu LANGKA! itulah yang
kuinginkan. Ketika aku menjadi manusia ‘langka’, aku akan membekas di tiap-tiap
hati yang pernah mengenalku. Aku tidak gila ketenaran. Aku cuman ingin
dikenang. Seperti album birunya melly di lagu bunda. Aku ingin menjadi isi
album itu. Yang dapat dikenang di setiap waktu. Dan tersimpan rapi, di tiap
sudut pemiliknya hingga akhir waktu.
Tak ada yang lebih membahagiakan dari ‘membekaskan
keunikanku’ pada orang-orang yang mengenalku. Masihkah kau pikir aku aneh-yang-se-aneh-aneh-nya-orang-aneh-yang-gila-dan-tak-tahu-malu?
Ayolah, aku hanya malas mandi sore dan kurasa banyak orang yang seperti itu. Aku
juga hanya sesekali atau yah baiklah duaduakali memekik cempreng ataupun nyanyi
ga jelas di kelas. Atau mencoba mencari perhatian dari semua penjuru kelas
dengan hanya memasang tampang serius dan bermukadimah pendek “assalamu’alaikum
warohmatullahiwabarokatuh” dengan nada yang biasa dipakai untuk mengumumkan hal
yang katanya penting di kelas-kelas, dan lalu tersenyum lebar melihat ekspresi
teman-teman sekelas. Atau meluncur seenak udel dengan sepatu butut yang
kebesaran 2 senti dari ukuran kakiku. Dan banyak hal ‘menarik’ lainnya yang kau
bilang itu aneh tapi juga menarik perhatianmu. Ya kan? Oh tidak. Aku terlalu
percaya diri.
Aku tidak ingin lagi
menyebut diriku aneh, tapi aku unik—tanpa rautan sombong, ya, tolong. Aku anak
unik kecil langka yang disangka gendut dan berkepala botak karena suka pake
baju kelonggaran dan jilbab kepanjangan. Tapi bagiku itu bukan masalah. Karena inilah
aku!
Langit yang tak berbintang di mataku masih saja berbangga hati
mengerubungi malam. Masih menemaniku, hey, dia setia dalam setiap hentakan
tombol teknologi satu ini. Parahnya, jemariku mengalir begitu indah, menari
diantara tombol-tombol hitam yang tentu saja berdebu—aku malas mengurusnya. Sudah
lama aku tak seegois ini. Benar-benar tertuju pada kebahagiaanku sendiri. Malam
ini, aku merasa, aku ‘bebas’!!